PANTURA


Bulan Maret ini saya kembali melakukan perjalanan panjang untuk mengisi pelatihan secara paralel, kali ini agenda saya keliling wilayah Jawa Tengah dan Yogya.
Perjalanan di mulai tanggal 9 Maret menuju Tegal. Saya berangkat dari Gambir dengan menggunakan Kereta Api Kamandanu Jakarta-Semarang. Setelah menempuh empat jam di perjalanan, sayapun sampai di stasiun Tegal. Di sana saya dijemput oleh Mas Agus dan mbak Ajeng, EO yang akan mendampingi saya di lima kota pertama.
Ini adalah kali pertama saya menginjak bumi Tegal, meskipun kota ini terkenal di Jakarta karena warung tegal-nya, tapi di kota ini sendiri tidak saya jumpai satupun warung tegal, yang ada adalah warung makan, he..he.. Kesan pertama tentang kota ini adalah kota lintasan di jalur Pantura pulau Jawa. Kesan ini begitu terasa karena sepanjang jalur lalu lintas darat utamanya dipenuhi kendaraan-kendaraan besar (truk dan bus), bahkan pada malam harinya frekuensi lalu lintas kendaraan besar ini semakin meningkat.
Saya cuma menginap semalam di kota Tegal, esoknya, setelah kelas pelatihan berakhir, rombongan kami segera pergi lagi menuju kota kedua, Pekalongan. Sebenarnya, saya ingin sekali berkeliling di kota ini untuk melihat-lihat toko batik, karena kota ini dikenal sebagai sentra Batik, sayang hal itu tidak bisa dilakukan mengingat jadwal saya di kota inipun hanya sebentar.
Kota berikutnya yang kami kunjungi adalah Kendal, sebuah kota kecil yang karena jaraknya begitu dekat dengan Semarang membuat kota ini jadi ‘tanggung’. Misalnya, di kota ini kami kesulitan untuk mencari tempat yang memadai untuk melangsungkan kelas pelatihan.
Setelah bermalam satu malam di Kendal, kamipun menuju Semarang. Di kota ini kelas pelatihannya dilaksanakan di wilayah luar kota, yaitu di Bandungan, sebuah daerah yang terletak di dataran tinggi di Unggaran, ibukota Kabupaten Semarang. Berada di Bandungan, sedikit banyak mengingatkan saya pada daerah puncak di Bogor, sama-sama tinggi, sama-sama dingin...
Kota berikutnya yang kami tuju adalah Salatiga. Ada sesuatu yang menarik perhatian saya di perjalanan menuju Salatiga ini. Karena kami memasuki wilayah Salatiga ini menjelang malam, beberapa saat sebelum memasuki kota Salatiga, mas Agus (pendamping saya) mengajak kami untuk singgah makan malam di sebuah restauran yang bernama Swalayan. Sesuai dengan namanya, di sini kami diberi keleluasaan untuk memilih dan mengambil sendiri nasi dan lauknya sesuai dengan selera kita. Tapi yang menarik bukan karena hal itu, melainkan karena persis di tengah restauran itu, ada sebuah panggung kecil dimana di atasnya duduk tiga orang lelaki menggunakan kostum yang sama (lengkap dengan dasinya) dan mereka masing-masing memegang alat musik petik yang sederhana dan memainkan lagu-lagu KERONCONG...
Wuihhh.... asyik banget... Meskipun suara dan perlengakapan mereka begitu sederhana, tapi jarang-jarang (bahkan tidak pernah ding...) saya menyaksikan live music keroncong... Sayapun menikmati sekali makan malam tersebut. Kami bahkan tidak segera beranjak pergi meski makan malam kami sudah selesai. Kami terbuai dengan lantunan Bengawan Solo... Juwita Malam... dan lagu-lagu kenangan lain...