KETAKJUBAN...


Itulah kesan yang tersisa dan melekat dalam memori pikiran pasca perjalanan umrah kemarin. Meski hanya sembilan hari, tapi perjalanan tersebut sungguh membuat saya merasa memasuki sebuah dunia lain.
Sebagai seorang yang pertama kali menginjak bumi tanah suci, rasa ketakjuban itu begitu bertumpuk-tumpuk. Ketakjuban karena menyaksikan kondisi alamnya yang begitu kering dan tandus tapi tergambar kemakmuran dan kekayaan negaranya. Ketakjuban karena bertemu dan melihat begitu banyak orang dengan segala perbedaannya, warna kulit, golongan, negara, bahasa, kultur, tapi semua datang untuk satu maksud, satu tujuan. Ketakjuban karena menyaksikan dan menikmati kemegahan arsitektur bangunan masjid (baik Masjid Haram maupun Masjid Nabawi), serta keindahan interior di seluruh bagian dalam masjid-masjid itu. Ketakjuban karena melihat Jabal Tsur dan Jabal Nur, tempat-tempat yang begitu monumental karena mewarnai perjuangan awal sang Rasul. Ketakjuban ketika mendaki dan berdiri di bukit yang konon tempat bertemunya Nabi Adam dan Hawwa setelah terpisah ratusan tahun, sehingga bukit itu dinakaman bukit kasih sayang (Jabal Rahmah). Ketakjuban menyaksikan kegersangan alam antara kota Makkah dan Madinah, karena terbayangkan berat dan sulitnya perjalan panjang sang Rasul dan Sahabat Abu Bakar ketika Hijrah. Ketakjuban ketika berdiri di kaki bukit Uhud, salah satu saksi bisu perjuangan berat sang Rasul membina mental para pejuangnya. Ketakjuban karena bisa berdiri di hamparan pemakam Baqee, tempat dimakamkannya keluarga serta ribuan sahabat Rasul.

Tentu saja, ketakjuban yang tak kan mampu terjelaskan adalah ketika pandangan berhadapan langsung dengan Ka’bah. Seumur hidup, sepanjang menjalankan ibadah sholat, di manapun berada, ke sanalah wajah dan raga terarahkan. Kini... sang titik fokus itu ada di hadapan mata... tak terhalang apapun. Subhanallah... (ah, tak kuasa rasanya menahan derai air mata...)
Ketika sholat terselesaikan, tapi pandangan tak bisa lepas dari titik fokus, Ka’bah yang agung.. Saat itulah, hati kecil berbisik: “Engkau beruntung... Sungguh beruntung... Seumur hidupmu wajah dan ragamu kau arahkan pada sang Ka’bah, kini kau berdiri di hadapannya... Jutaan orang begitu menginginkan peristiwa ini. Tapi belum tentu seberuntungmu..! Engkau bisa ke sini bukan semata karena hartamu..! Tapi semata-mata karena ijinNyalah... Subhanallah... Alhamdulillah...
Terima kasih Rabb... terima kasih. Jadikan aku orang yang selalu mudah menyukuri segala nikmatMu..

PANTURA


Bulan Maret ini saya kembali melakukan perjalanan panjang untuk mengisi pelatihan secara paralel, kali ini agenda saya keliling wilayah Jawa Tengah dan Yogya.
Perjalanan di mulai tanggal 9 Maret menuju Tegal. Saya berangkat dari Gambir dengan menggunakan Kereta Api Kamandanu Jakarta-Semarang. Setelah menempuh empat jam di perjalanan, sayapun sampai di stasiun Tegal. Di sana saya dijemput oleh Mas Agus dan mbak Ajeng, EO yang akan mendampingi saya di lima kota pertama.
Ini adalah kali pertama saya menginjak bumi Tegal, meskipun kota ini terkenal di Jakarta karena warung tegal-nya, tapi di kota ini sendiri tidak saya jumpai satupun warung tegal, yang ada adalah warung makan, he..he.. Kesan pertama tentang kota ini adalah kota lintasan di jalur Pantura pulau Jawa. Kesan ini begitu terasa karena sepanjang jalur lalu lintas darat utamanya dipenuhi kendaraan-kendaraan besar (truk dan bus), bahkan pada malam harinya frekuensi lalu lintas kendaraan besar ini semakin meningkat.
Saya cuma menginap semalam di kota Tegal, esoknya, setelah kelas pelatihan berakhir, rombongan kami segera pergi lagi menuju kota kedua, Pekalongan. Sebenarnya, saya ingin sekali berkeliling di kota ini untuk melihat-lihat toko batik, karena kota ini dikenal sebagai sentra Batik, sayang hal itu tidak bisa dilakukan mengingat jadwal saya di kota inipun hanya sebentar.
Kota berikutnya yang kami kunjungi adalah Kendal, sebuah kota kecil yang karena jaraknya begitu dekat dengan Semarang membuat kota ini jadi ‘tanggung’. Misalnya, di kota ini kami kesulitan untuk mencari tempat yang memadai untuk melangsungkan kelas pelatihan.
Setelah bermalam satu malam di Kendal, kamipun menuju Semarang. Di kota ini kelas pelatihannya dilaksanakan di wilayah luar kota, yaitu di Bandungan, sebuah daerah yang terletak di dataran tinggi di Unggaran, ibukota Kabupaten Semarang. Berada di Bandungan, sedikit banyak mengingatkan saya pada daerah puncak di Bogor, sama-sama tinggi, sama-sama dingin...
Kota berikutnya yang kami tuju adalah Salatiga. Ada sesuatu yang menarik perhatian saya di perjalanan menuju Salatiga ini. Karena kami memasuki wilayah Salatiga ini menjelang malam, beberapa saat sebelum memasuki kota Salatiga, mas Agus (pendamping saya) mengajak kami untuk singgah makan malam di sebuah restauran yang bernama Swalayan. Sesuai dengan namanya, di sini kami diberi keleluasaan untuk memilih dan mengambil sendiri nasi dan lauknya sesuai dengan selera kita. Tapi yang menarik bukan karena hal itu, melainkan karena persis di tengah restauran itu, ada sebuah panggung kecil dimana di atasnya duduk tiga orang lelaki menggunakan kostum yang sama (lengkap dengan dasinya) dan mereka masing-masing memegang alat musik petik yang sederhana dan memainkan lagu-lagu KERONCONG...
Wuihhh.... asyik banget... Meskipun suara dan perlengakapan mereka begitu sederhana, tapi jarang-jarang (bahkan tidak pernah ding...) saya menyaksikan live music keroncong... Sayapun menikmati sekali makan malam tersebut. Kami bahkan tidak segera beranjak pergi meski makan malam kami sudah selesai. Kami terbuai dengan lantunan Bengawan Solo... Juwita Malam... dan lagu-lagu kenangan lain...


KONGBENG

Dari Sangatta, kami melanjutkan perjalanan menuju sebuah Kecamatan yang terletak paling Utara dari wilayah Kutai Timur, yaitu Kecamatan Kongbeng.
Ketika saya mendapat penawaran tugas di wilayah Kaltim ini, yang pertama kali saya lakukan adalah membeli peta wilayah Kalimantan Timur, lalu saya menelusuri letak kota-kota yang akan saya kunjungi. Nah di antara sembilan kota yang akan saya datangi, hanya satu yang tidak tercantum dalam peta, yaitu Kongbeng ini. Akhirnya saya telusuri melalui search engine di internet dengan menggunakan kata kunci Kongbeng. Ternyata hasilnya minim sekali, hanya keterangan yang menyatakan bahwa Kongbeng ini adalah salah satu Kecamatan yang termasuk wilayah Kutai Timur.
Ternyata Kecamatan ini adalah hasil pemekaran dari Kecamatan Muara Wahau, itu sebabnya di peta hanya ada keterangan tentang Muara Wahau.
Untuk sampai di Kecamatan Kongbeng, diperlukan perjalanan selama kurang lebih empat jam dari Sangatta. Secara umum kondisi jalan antara Sangatta – Kongbeng bisa disebut mulus, namun di beberapa tempat terjadi amblas pada sebagian atau seluruh permukaan jalan, sehingga pada titik-titik tersebut jalannya nyaris putus, sehingga harus disambung dengan jembatan-jembatan darurat. Cukup mengerikan memang... selain karena di pinggir kiri kanannya adalah jurang, juga mengingat titik-titik itu adanya di tengah hutan. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana beratnya perjalanan di waktu hujan atau malam hari...
Sesampainya di Kongbeng, kami beristirahat dan menginap di sebuah penginapan yang cukup asri, dimana dindingnya seluruhnya ditutupi kayu. Meski air di kamar mandinya berwarna kekuning-kuningan, tapi fasilitas dalam kamarnya cukup lengkap dimana ada AC dan TV dengan saluran internasional (maklum menggunakan parabola). Tapi jangan kaget... semua fasilitas itu hanya bisa digunakan malam hari saja, karena mulai dari jam 7 pagi sampai jam 17 sore listriknya padam karena mengalami pergiliran aliran (keadaan ini menjadi salah satu ciri khas dari beberapa kota di Kaltim).
Meski termasuk kota kecil (hanya ibukota Kecamatan), di sini terdapat beberapa penginapan, karena di wilayah sekitarnya terdapat selain penambangan Batubara, juga terdapat banyak perkebunan kelapa sawit, sehingga setiap harinya selalu saja ada orang yang turun gunung atau naik gunung, nah penginapan ini menjadi tempat transit bagi mereka.


Hal lain yang menjadikan daerah ini istimewa adalah karena di daerah ini ada sebuah desa yang bernama Miau Baru, yaitu sebuah desa yang masih tetap memperlakukan tradisi budaya dayak dalam kehidupan keseharian mereka, seperti berladang dan mencari ikan untuk kelangsungan hidup mereka.
Ketika rombongan kami memasuki wilayah desa ini, saya dibuat takjub, karena keadaannya jauh dari yang saya bayangkan sebelumnya.
Desa ini begitu asri, dimana permukimannya sangat tertata dengan baik lengkap dengan blok-blok rumah seperti pada komplek permukiman di kota-kota besar, hanya saja jalan-jalan dan gang-gang yang memisahkan rumah-rumah itu masih terbuat dari tanah dan rumahnya berbentuk panggung. Di setiap kolong rumah tersebut tersimpan kayu-kayu yang tertata dengan rapi sebagai bahan persediaan bahan bakar keluarga mereka.
Di tengah perkampungan itu, terdapat lumbung/gudang desa, juga ada sebuah bangunan panggung yang sangat besar yang disebut rumah panjang yang berfungsi sebagai tempat pertemuan atau acara-acara di antara mereka, di sekitar rumah panjang itu terdapat beberapa patung yang menggambarkan budaya mereka, sebagian malah berbentuk tiang yang menjulang tinggi.
Ciri khas dari penduduknya antara lain adalah memanjangnya ujung telinga para perempuan (terutama yang sudah tua) lengkap dengan anting-antingnya yang menyerupai gelang besar.
Hal lain yang menarik di desa ini adalah, di seberang perkampungan ini, dibatasi oleh sebuah sungai yang cukup besar, terdapat sebuah kawasan peternakan milik warga desa ini, dimana di sana berkeliaran dengan bebas banyak sekali babi-babi hutan.