KEYAKINAN & MENTAL
Keyakinan mempunyai kekuatan yang dasyat, keyakinan positif bisa membuat seorang yang biasa-biasa saja mampu melakukan hal yang luar biasa, sebaliknya, ketika seseorang memiliki keyakinan yang negatif, maka bisa membuat orang tersebut terpuruk dalam keputusasaan, tak perduli seberapa besar bakat dan kemampuan yang dimilikinya.
Ketika saya memutuskan untuk berhenti dari status pegawai, saya berpegang pada sebuah keyakinan positif, yang lahir dari hasil beberapa kali mengalami perenungan sendiri. Saya punya keyakinan bahwa sumber rizki saya adalah Allah, sang Maha Pemberi. Dia mengucurkan sebagian rizki jatah saya berbentuk pendapatan bulanan melalui saluran gaji saya, dari pendapatan itulah saya menafkahi diri dan keluarga saya.
Pertanyaannya; apakah kalau saya berhenti dari status pegawai, rizki jatah saya dari Allah juga ikut berhenti?. Pasti tidak…!
Nah… kalau begitu, berarti sumber jatah rizki saya tetap ada, hanya saja saya telah membuang salurannya (gaji bulanan). Untuk menjaga agar jatah rizki saya tetap mengalir, maka saya harus segera mencari saluran penggantinya. Karena saat itu saya telah berhasil membuat saluran sendiri melalui bisnis (meski kecil-kecilan), maka sayapun merasa yakin bahwa jatah rizki saya akan tetap mengalir melalui saluran bisnis saya tersebut, meskipun saya tidak lagi jadi pegawai.
(di sini saya dimantapkan oleh keyakinan lain yang disampaikan oleh Aa Gym, bahwa kita tidak perlu mencari rizki, tapi kita cukup menjemputnya saja..., karena kita semua telah diberi jatah rizki masing-masing).
Kemudian ada sebagian orang yang menyarankan, bahwa untuk persiapan berhenti dari karyawan, sebaiknya menyiapkan tabungan untuk bekal minimal 6 bulan biaya hidup. Hal itu sangatlah bagus, tapi saya punya pemikiran lain. Menurut saya, selain persipan biaya hidup, ada hal lain yang perlu dipersiapkan juga, yakni persiapan perubahan mental, dari mental seorang karyawan menjadi mental seorang wirausaha. Karena tidak ada yang menjamin bahwa setelah 6 bulan (atau berapa lamapun dia punya cadangan biaya hidup), usahanya telah berjalan dengan lancar. Tanpa persiapan mental, bisa jadi ketika cadangan biaya hidupnya telah habis, sementara usahanya belum stabil, maka dia mengalami drop (dan hal ini yang menimpa sebagian para pensiunan karyawan/pegawai).
Untuk persiapan mental ini, saya punya pengalaman pribadi, ada dua langkah yang saya persiapkan;
Langkah pertama; Saya tetapkan sebuah tujuan (yang paling gampang adalah yang berwujud material, misalnya; sepeda motor, mobil, uang, dlsb.) yang selama ini belum saya miliki, kemudian saya mencoba meraihnya dengan tidak bersumber dari pendapatan rutin di kantor (supaya tidak mengganggu mekanisme belanja keluarga). Di sinilah media untuk latihan pikiran kita menjadi lebih kreatif dalam berbisnis dengan risiko rendah, karena tidak sampai mengganggu kebutuhan primer keluarga kita. Di sini juga kita berlatih untuk berkomitmen (menjadikan tujuan sebagai suatu keharusan!), dan ketika satu demi satu tujuan itu berhasil kita raih, maka secara psikologis berdampak sangat luar biasa pada mental kita (kita telah membuktikan menguasai proses pencapaian suatu tujuan).
Contoh: karena saya berbisnis di bidang pelatihan, saya tetapkan tujuan untuk memiliki sebuah laptop. Saya berusaha sekuat mungkin mendapatkan tujuan itu tanpa harus tergantung dari pendapatan rutin di kantor saya. Alhamdulillah, ternyata saya bisa mencapainya. Kemudian saya tetapkan tujuan-tujuan lain; LCD projector, perlengkapan audio, sepeda motor, mobil dan sewa kantor. Alhamdulillah… semua target itu dapat dicapai.
Keadaan itu sangatlah menguatkan mental saya, selain itu, semua pencapaian itu juga menambah modal dasar saya dalam berbisnis.
Langkah kedua; Sedikit demi sedikit saya mengurangi ketergantungan pemenuhan kebutuhan keluarga dari pendapatan rutin di kantor. Saya mulai dengan mengambil hanya 80% gaji saya untuk kebutuhan keluarga, sementara 20% nya disimpan (inilah yang nanti menjadi tabungan persiapan masa transisi), sementara untuk memenuhi kekurangan kebutuhan keluarga (karena hanya diambil 80%), saya targetkan harus bisa dipenuhi dari pendapatan bisnis saya. Bulan berikutnya, saya hanya mengambil 60% gaji saya, demikian seterusnya, sampai akhirnya saya tidak pernah lagi mengambil gaji setiap bulannya, semuanya menjadi simpanan, sementara untuk memenuhi kebutuhan belanja keluarga, sudah bisa diatasi dari pendapatan bisnis saya.
Pelajaran yang bisa diambil dari langkah kedua ini adalah; secara mental saya tidak lagi tergantung pada gaji! Saya bisa memenuhi kebutuhan saya dengan tidak bersumber dari gaji. Itu berarti, bahwa saya siap untuk berhenti kapan saja…
Akhirnya... setelah kurang lebih tiga tahun menjalani masa persiapan tersebut, dengan pikiran mantap saya memutuskan untuk melepaskan status saya sebagai karyawan. Sekarang, saya sudah terbiasa dengan keadaan tanpa gaji rutin. Dengan mengandalkan rasa syukur atas segala kelebihan dan kesempatan yang saya miliki, saya menjalani proses menjemput keluasan rizki dari Sang Pemberi...
Semoga bermanpaat…
Salam Sukses…!
Posted in: on Thursday, August 10, 2006 at at 10:28 AM
Wah, terima kasih atas penjelasannya Pak. Tulisan Bapak memberi inspirasi kepada saya. Cita2 jangka pendek saya adalah pensiun muda dan menjadi bisnis owner. Sekali lagi terima kasih...
Hebat Pak Yusef Ana salut. Setelah lama ga terdengar sekarang jadi IBO
Alias pengusaha boleh juga tuh pak di sharing ilmunya saya cape jadi karyawan hehehehe...mudah2an pak yusef masih mau kenal dengan saya dan mau berbagi.